Senin, 25 Juli 2011

kesepianku



KESEPIANKU

Tak puas-puasnya aku memandang seluruh tubuhku yang bugil di cermin,
mulai dari leherku yang jenjang, buah dadaku yang besar dan
kencang(36C), indah dengan puting yang masih kemerahan, karena belum
ada satu mulut bayipun yang menyusu di buah dadaku. Apalagi ditunjang
dengan kulitku yang halus dan putih mulus, membuat aku makin percaya
diri bahwa lelaki manapun akan tertarik denganku. Bulu-bulu hitam
lebat yang menghiasi celah diantara pahaku menjuntai melambai tertiup
AC dikamarku. Kuputar badanku, kulihat belahan pantatku yang bulat
menantang, kakiku yang panjang teras ideal menopang tinggi tubuhku
yang 171 cm.

Tapi semua keindahan itu telah lama tidak tersentuh oleh tangan kekar
lelaki, Sejak kematian suamiku 3 tahun yang lalu, belum ada satu
orangpun yang mampu menggetarkan perasaanku, meskipun banyak lelaki
yang mencoba masuk dalam kehidupanku, tapi semuanya secara halus
kutepis dengan alasan belum siap. Usiaku baru 26 tahun, masih muda.
Kesepianku selama ini kuisi dengan kesibukan kerja, saat malam tiba
dan gairahku memuncak, seorang lelaki akan muncul, paling ku peluk
guling erat-erat, kubayangkan bahwa yang kupeluk adalah seorang lelaki
macho. Kugesekan klitorisku hingga aku orgasme.

Sebenarnya aku ingin mencoba Dildo, tapi aku takut kemaluanku lecet
dan daya elastisnya melemah. Juga pernah terlintas dalam otakku untuk
menggunakan jasa Gigolo untuk memuaskan libidoku, tapi aku masih takut
dan ragu.

"Tok, tok" suara pintu kamarku terdengar diketuk membuyarkan
lamunanku.
"Siapa?", sahutku.
"Saya, nya" terdengar suara pembantuku dibalik pintu.
"Ada apa, bi?"
"Ada tamu mau ketemu nyonya."
"Dari mana?", aku bertanya, sebab aku merasa tidak ada janji bertemu
dengan siapapun.
"Katanya dari perusahaan asuransi, udah janji ingin bertemu nyonya."

Oh ya aku baru ingat, bahwa aku meminta perusahan asuransi datang
kerumahku pada hari Sabtu ini, saat aku libur kerja, karena aku ingin
merevisi asuransi atas rumah pribadiku yang telah jatuh tempo.

"Suruh dia masuk dan tunggu di ruang tamu, bi!"
Bergegas aku mengenakan pakaianku, hanya daster terusan tanpa bra dan
celana dalam, karena aku tak mau tamuku menunggu lama. Wajahku pun
hanya sedikit kuoles bedak. Setelah aku rasa rapi, bergegas aku
menemuinya.

"Selamat siang, bu!", sapaan hormat menyambutku saat aku tiba di ruang
tamu.
"Selamat siang", aku membalas salamnya.
"Perkenalkan Bu, saya Ronny, Marketing Executive di perusahaan BXX",
tangannya mengundangku bersalaman. Aku menyambut uluran tangannya, dan
mempersilakannya duduk.

Sejenak aku perhatikan, usianya kutaksir 25-an, tapi yang membuatku
agak tertarik tadi saat posisi berdiri bersalaman, aku sempat mengukur
tinggi tubuhku hanya sebatas lehernya. Aku perkirakan tingginya 180cm-
an. Aku agak terkesan apalagi penampilannya bersih dengan kumis tipis
menghiasi bibirnya. Wajahnya sih memang biasa saja.

Kami terlibat obrolan panjang tentang asuransi yang ditawarkan.
Ternyata orangnya supel dan ramah, cara bicaranya mencerminkan
wawasannya yang luas, dan pandangannya tidak "jelalatan" seperti
lelaki lainnya yang pernah aku temui, padahal puring buah dadaku yang
tidak mengunakan bra terlihat berbayang dibalik dasterku.

Tak banyak pikir lagi, aku segera menyetujuinya. Apa lagi preminya
tidak terpaut jauh dengan asuransiku sebelumnya. Dia berjanji akan
datang kembali minggu depan membawa polis-nya.

Sepulangnya dia, aku masih membayangkannya, simpatik sekali orangnya,
terutama tubuhnya yang tinggi, hampir sama dengan almarhum suamiku.
Juga aku teringat jawaban almarhum suamiku bahwa orang yang tinggi
agak kurus, 80% senjatanya panjang dan besar, saat aku bertanya,
'Mengapa senjata mas Rudy (almarhum suamiku), besar dan panjang'.
Aku sendiri bingung, tak biasanya aku berfikiran seperti ini, apalagi
baru pertama kali bertemu. Tapi aku tak mau membohongi diriku, aku
tertarik padanya.

Waktu seminggu yang dijanjikannya terasa lama sekali. Akhirnya tibalah
hari yang dijanjikannya, aku berias secantik mungkin, meskipun tidak
menyolok. Kusambut kedatangannya dengan manis. Kali ini kulihat Ronny
mengenakan setelan pakaian kerja lengkap dengan dasinya.

Setelah polis aku terima dan menyerahkan pembayarannya, aku
mengajaknya mengobrol sedikit mengenai pribadinya. Ternyata usianya 28
tahun, dengan status bujangan, dan masih mengontrak rumah di daerah
XXX di kota J.

"Ibu Linda sendiri, bagaimana?", kini dia balik bertanya kepadaku.
Kujelaskan statusku yang janda. Kulihat wajahnya sedikit berubah.
"Maaf Bu, kalau pertanyaan saya menyinggung perasaan ibu."
"Tidak apa-apa, toh gelar ini bukan saya yang menghendaki, tapi sudah
suratan"

Sejak tahu statusku Janda, dia jadi sering datang kerumahku. Ada aja
alasannya untuk datang kerumahku, meskipun kadang terkesan dibuat-
buat. Hubungan kami menjadi lebih akrab. Diapun tidak memanggilku
dengan sebutan 'bu' lagi, tapi 'mbak'. Sedangkan akupun memanggilnya
mas Ronny. Tapi yang aku heran dari mas Ronny adalah sikapnya yang
belum pernah menjurus kearah sex sedikitpun. Meskipun sering kali kami
bercanda layaknya orang pacaran, aku jadi berfikiran jelek, jangan-
jangan mas Ronny gay. Padahal aku sudah tetapkan dalam hati, bahwa mas
Ronny lah orang kedua yang boleh membawaku mengarungi samudera
kenikmatan.

Tapi ternyata pikiran jelekku tidak terbukti. Kejadiannya waktu malam
Minggu mas Ronny datang untuk yang kesekian kalinya. Kami memutar film
roman percintaan, bibiku sejak tadi sudah masuk kekamarnya nggak tahu
ngapain. Mungkin sengaja meberi kesempatan kepada kami anak muda yang
sedang dilanda asmara. Saat adegan percumbuan berlangsung, aku
meliriknya. Kulihat wajahnya sedikit memerah dan celana panjangnya,
yang berbahan tipis, kulihat sedikit menggelembung. Aku bimbang.

Akhirnya kutetapkan hatiku untuk memulai percumbuan dengannya tapi
bagaimana caranya? Aku ada ide agak tidak terkesan aku yang mau, aku
harus pura-pura sakit.
"Aduh mas Ron! Kepalaku sakit sekali", aku mulai menebarkan jaring.
Kupegangi keningku yang tidak sakit. Pancinganku berhasil, mas Ronny
menghampiriku.

"Kenapa mbak?", tanyanya, "Kok, tiba-tiba sakit?"
"Anu, mas, tekanan darahku rendah, jadi kadang-kadang kambuh seperti
ini", aku terus merintih layaknya orang kesakitan. Aku membaringkan
tubuhku disofa.
"Mas, tolong bawa aku ke kamar.", aku semakin nekat. Kulihat mas Ronny
kelabakan.
"Papah aku, mas."
Akhirnya mas Ronny memapahku kedalam kamarku. Kutempelkan buah dadaku
ke punggungnya. Terasa aliran kenikmatan di tubuhku. Dibaringkannya
tubuhku di ranjang tidurku, dan bergegas mas Ronny keluar.
"Kemana, mas?" tanyaku pura-pura lirih.
"Bangunin bibi."
"Nggak usah, mas. Tolong keningku dibaluri minyak angin saja."
"Minyak anginnya dimana?", tanyanya.
"Di meja rias"

Mas Ronny dengan telaten sekali memijat keningku. Kurasakan jarinya
sedikit gemetar.
"Mas tolong tutup pintu dulu, ntar bibi lihat nggak enak" aku baru
sadar pintu kamarku masih melongo.
"Sekalian mas, TV-nya matiin dulu"
Mas Ronny beranjak mematikan TV, aku segera melepaskan pakaianku,
hingga tinggal bra dan celana dalam saja. Kututupi tubuhku dengan
selimut. Mas Ronny telah kembali ke kamarku dan menutup pintunya.
"Mas tolong kerokin aja deh", aku mulai memasang jurus.
"Lho, pusing kok dikerokin?"
"Biasanya aku kalau pusing begini mas!", aku berkilah tak mau
kebohonganku terbongkar.
Mas Ronny menurut, dan mencari uang logam untuk mengeroki tubuhku.
"Jangan pakai uang logam, mas. Aku biasanya pakai bawang"

Setelah aku beritahu tempat bawang, mas Ronny kembali lagi kekamarku.
Kali ini kulihat wajahnya sedikit berkeringat, nggak tahu keringat
apaan. Segera aku tengkurap, "Cepat, mas, kepalaku tambah pusing,
nih". Mas Ronny membuka selimut yang menutupi tubuhku. dan..

"Mbak Linda, kapan melepas baju?" nadanya terkejut sekali.
"Tadi, waktu kamu keluar", jawabku santai.
Hening sejenak. Mungkin mas Ronny masih bimbang menyentuh tubuhku.
"Ayo, mas"
"Iya. Maaf ya Mbak", aku mulai merasakan dinginnya air bawang di
pundakku. Gemetarnya tangan mas Ronny terasa sekali.
"Kenapa tangan mas gemetaran?"
"Iya. Aku nggak biasa", suaranya agak gugup.
"Rileks aja mas", aku mencoba menenangkannya.

Akhirnya gerakan tangan mas Ronny semakin lancar dipunggungku. Aku
mulai merasakan bulu kudukku bangun, terlebih saat tangan mas Ronny
mengeroki bagian belakang leherku. Segera aku membalikkan tubuhku.
Kini buah dadaku yang besar tepat berada di hadapan mas Ronny.
"Mbak, depannya aku nggak berani."

Aku sudah tidak mau bersandiwara lagi.
"Mas, kalau depannya jangan dikerok, tapi dibelai"
Kulihat wajahnya sedikit pucat, "Memangnya Mas Ronny nggak mau?", aku
menantangnya terang-terangan.
"Aku nggak pernah, mbak", jawaban polosnya membuat aku sadar bahwa
dalam urusan seks ternyata mas Ronny tidak punya pengalaman apa-apa
alias perjaka ting-ting. Berfikir seperti itu, nafsuku kian bangkit.
Segera kudorong tubuhnya hingga rebah diatas pembaringanku. Kubuka
kancing bajunya dan melemparkannya kelantai.
"Mbakk, jangan", mas Ronny masih berusaha menolak, tapi aku yakin
suaranya hanya sekedar basa-basi, atau refleksi dari belum pernahnya.
Aku mulai menciumi bibir mas Ronny, kumis tipisnya terasa geli di
bibirku. Tapi tak ada balasan.
"Mas Ronny kok diam saja?", aku bertanya manja.
"Tapi, mbak jangan marah ya?", tanyanya bodoh. Orang aku yang minta
kok aku marah?

Mungkin disentakan oleh kesadaran bahwa dirinya adalah lelaki, mas
Ronny langsung menyambar bibirku dan melumatnya. Aku berteriak senang
dalam hati, malam inilah dahagaku akan terpuaskan. Ciuman kami
berlangsung lama, jari-jariku bergerak mengusap dadanya. Putingnya
yang hitam kutarik-tarik, sementara jari-jari mas Ronny mulai membelai
buah dadaku. Usapannya pada puting buah dadaku, membuat syaraf
kewanitaanku bangkit, meskipun usapannya terasa agak takut-takut tapi
kenikmatan yg aku peroleh tidak berkurang.

Apalagi tekanan keras dipahaku membuatku segera sadar bahwa senjata
mas Ronny mulai bangkit. Satu persatu pakaian kami bergelimpangan ke
lantai. Kini tubuh kami sudah bugil. Tubuhku ditindih mas Ronny.
Perlahan-lahan mulut dan lidah mas Ronny mulai menggelitik putting
buah dadaku yang terasa makin mengeras. "Mas..terusss..enak", aku
mulai merintih nikmat. Tanganku segera menggenggam senjatanya, tapi
sungguh mati aku kaget dibuatnya. Besar sekali. Lebih besar dari punya
almarhum suamiku. Aku semakin bernafsu, kukocok perlahan senjatanya
yang keras dan kokoh. Mas Ronny merintih tak karuan. Hisapannya
semakin keras di buah dadaku membalas kocokan tanganku di senjatanya.

Aku sudah tak tahan menunggu permainan mas Ronny di buah dadaku saja.
Nafsuku yang tertahan 3 tahun membuncah hebat dan menuntut penyaluran
secepatnya. Dengan penuh nafsu aku segera ambil posisi diatas,
tanganku terus mengocok senjatanya yang semakin panjang dan membesar.
Lidahku mulai menjilati dadanya yang ditumbuhi bulu-bulu halus pada
bagian putingnya. Kuhisap dan kugigit pelan.
"Mbak Linda.. aku nggak tahan"
Kupercepat gerakan tanganku.Kulihat muka mas Ronny semakin memerah.
Mulutku yg mungil sampai pada senjatanya yg kaku. Kujilati seluruh
batang senjatanya, kugelitik halus lubang atasnya. Kumasukkan
senjatanya kedalam mulutku. Ufffhhh terasa penuh dimulutku, akibat
besarnya senjata mas Ronny. Mulutku mulai menyedot-nyedot sementara
tanganku terus mengocok batang senjatanya. Remasan tangan mas Ronny
dirambutku semakin kuat, hingga akhirnya saat kuhisap kuat dengan
kocokan kupercepat, aku merasakan tubuh mas Ronny bergetar hebat dan,
"mbbakkk...", mas Ronny menjerit. Terasa cairan kenikmatan itu
memenuhi mulutku. Agak anyir, tapi aku menelannya sampai tuntas.

Kini tinggal aku yang harus mencapai orgasme. Kurangsang terus seluruh
tubuh mas Ronny. Dasar memang perjaka tulen, sebentar saja, senjatanya
sudah membesar kembali dan siap bertempur. Aku segera berjongkok
diatas tubuhnya. Kuarahkan senjatanya yg besar di lubang kewanitaanku
yg sudah basah. Perlahan kuturunkan pinggulku. Seret sekali. Mungkin
terlalu lama tidak dimasukkin senjata pria. Apa lagi senjata mas Ronny
yang besar dan panjang. Aku merasakan sedikit sakit tapi lebih banyak
nikmatnya. Saat bulu kemaluan kami bertemu, dimana senjata mas Ronny
amblas seluruhnya kedalam kemaluanku, sulit di gambarkan kenikmatan yg
aku dapatkan. Aku diamkan sejenak menikmati denyutan senjata mas Ronny
di liang kewanitaanku. Kulirik wajah mas Ronny yg terpejam, mungkin
menikmati remasan kewanitaaanku di seluruh batang senjatanya.

Perlahan aku gerakkan pantatku naik turun. Kian lama gerakan pinggulku
kian buas. Aku sudah tak dapat menguasai lagi nafsuku yg sudah
tertahan. Sesaknya senjata mas Ronny dikemaluanku ditambah cairan
pelumas dari tubuh kami masing-masing menimbulkan suara-suara birahi
seirama dengan gerakan pantatku.
"Mbakkk, aku nggak tahan.."
Aku rasakan semburan hangat di kewanitaanku. Aku semakin cepat,
menggerakan pinggulku meraih puncak kenikmatan yang tinggal selangkah
lagi. Tapi senjata mas Ronny keburu melembek hingga akhirnya mengecil.
Aku tambah panik dan histeris dengan nafsuku yang tergantung. Aku
mencoba membangkitkan kembali nafsu mas Ronny, tapi setiap kali aku
mau orgasme, mas Ronny selalu medahuluiku.

Sampai sekarang, meskipun kami jadi sering berhubungan badan tapi
belum pernah sekalipun aku orgasme. Kalau baru pertama aku masih bisa
terima, tapi sudah yang kesekian kalipun masih begitu. Entahlah. Kalau
buat keperkasaan. mas Ronny jauh dengan almarhum suamiku yg dapat
membawaku ke puncak orgasme hingga 4 ka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar